Rngkasan Ulasan
Ringkasan : SIlahkan
Belajar Aksara Batak amatlah mudah. Ke-19 aksara yang ditambah beberapa tanda diakritik dapat cepat dipahami.
Aksara
Semua ina ni surat yang berupa konsonan berakhir dengan bunyi /a/ (bp bapa).
gambr
Tanda Diakritik (Anak ni surat)
Untuk menambah bunyi vokal, bunyi sengau dan bunyi /h/ serta untuk mematikan bunyi /a/ perlu ditambah beberapa tanda diakritik:
gambar:
Bunyi /a/ ini dapat dihapus dengan menggunakan tanda mati yang berbentuk garis miring terbalik.: lk\lk\ laklak.
Bunyi /a/ yang melekat pada ina ni surat dapat diubah menjadi vokal lain dengan menambahkan anak ni surat. Huruf g /ga/ misalnya dapat diubah menjadi gE /ge/ seperti dalam kata bligE Balige.
Selain itu, ada dua diakritik yang menambahkan bunyi /ng/ atau /h/ pada ina ni surat, contohnya adalah b^kr Bangkara, atau rumh rumah [K].
Dua jenis diakritik dapat dikombinasikan: pti^ pating [K], reh reh [K]. Bila terdapat kombinasi dari anak ni surat yang letaknya di belakang ina ni surat (yakni i, u, atau e) dan anak ni surat /h/ atau /ng/ (yang terletak di atas-kanan ina ni surat) maka anak ni surat /h/ atau /ng/ agak bergeser ke kanan sehingga posisinya tepat di atas anak ni surat i, u, atau e. Perlu dicatat bahwa aturan ini tidak selalu dipatuhi.
Pada suku kata tertutup yang terdiri dari urutan Konsonan – Vokal – Konsonan, anak ni surat yang menandai vokal selalu diletakkan di antara ina ni surat yang kedua dan tanda mati seperti terlihat pada contoh ini: gko\ gok; borti- borit [S]; sni-tk- sintak [K].
Aksara /a/ dan /h/
Menurut Voorhoeve , makna asli huruf a adalah /ha/ dan huruf k bermakna /ka/, tetapi dalam dialek-dialek selatan a selalu dieja /a/ dan k bermakna /ha/ atau /ka/. Pada kelompok Batak Utara, a selalu bermakna /a/ atau /ha/ dan k menjadi /ka/ seperti dapat dilihat pada tabel berikut:
gambar
Huruf a juga digunakan sebagai penopang vokal. Karena surat Batak hanya mengenal dua ina ni surat yang bermakna vokal, ialah /i/ dan /u/, maka huruf a dipakai bila vokal-vokal /e/, /e-pepet/, dan /o/ berada pada awal suku kata. Dengan demikian aE dibaca /e/, ao dibaca /o/ dan sebagainya: aEtkE\ etek, aakE\ aek, amo\P ompu, ani\d inda, aN\d^ undang (perihal kedua contoh terakhir lihat juga bab 7.3).
Aksara /i/ dan /u/
Aksara ina ni surat I/i/ dan U/u/ hanya digunakan di awal suku kata terbuka (UL ulu, pI<to\ paingot). Bila sebuah suku kata tertutup diawali dengan bunyi [i] atau [u] maka vokal tersebut diwakili oleh kombinasi huruf a dan anak ni surat /i/ atau /u/ (aM\pm umpama, ani\D^ indung). Aturan ini juga berlaku bagi suku kata yang dimulai dengan vokal-vokal lainnya: (amo\P ompu, aolo olo, aems- emas [K]).
*K Di surat Batak versi Karo, huruf I dan U boleh dipakai, boleh tidak. Di mana pun posisinya, I selalu dapat diganti dengan ai, dan U boleh diganti dengan au. Dengan demikian, kata iluh dapat ditulis ailuh atau Iluh. Di semua surat Batak lainnya terdapat kecenderungan untuk selalu menggunakan I dan U bila berada pada posisi awal suku kata terbuka.
Vokal Ganda dan Diftong – Aksara /w/ dan /y/
Karena fonem [y] dan [w] tidak terdapat pada bahasa Batak Toba, maka aksara /ya/ dan /wa/ tidak perlu bila menulis surat Batak versi Toba. Namun demikian, huruf y /y/ dan w /wa/ sering dipakai, juga dalam naskah-naskah Batak Toba, untuk menyambungkan dua vokal. Kata reak, misalnya, dapat ditulis reak\ atau reyk\ dan demikian juga terdapat varian Da (dua) dan Dw (duwa). Tidak jarang kita menjumpai kedua varian pada satu naskah.
Di Karo dan Simalungun vokal ganda selalu harus disambungkan dengan menggunakan w dan y. Dalam surat Batak versi Karo, kata sea selalu ditulis sEy (seya) dan tidak pernah sEa (sea); demikian juga dengan kata dua yang harus ditulis duw.
Di semua surat Batak, w dipakai untuk menyambung vokal ganda yang dimulai dengan vokal /u/ atau /o/ (yakni ua, oa, oe, dan ue), sedangkan y menyambung vokal ganda yang berawal /e/ atau /i/ (yakni ia, io, ea, dan eo).
*K Di Karo, diftong [ai] biasanya ditulis /e/: kata nai biasanya ditulis nE (ne), tetapi kadang-kadang varian nyi (nayi) digunakan juga. Setahu saya, kebiasaan ini hanya ada di Karo, sedangkan dalam naskah-naskah Toba dan Mandailing diftong [ai] seperti dalam contoh kata sai selalu ditulis sai (sai), dan dalam hal ini s mewakili /sa/ dan ai /i/.
Diftong [au] tidak lazim digunakan di Karo. Di antara beberapa kata yang menggunakan diftong [au] terdapat kata lau (air, sungai) dan laut (laut). Dalam naskah-naskah Karo, lau selalu ditulis layo, dan laut selalu ditulis lawit. Dalam naskah Toba dan Mandailing, diftong /au/ selalu ditulis seperti dalam kata saT\, yaitu s /sa/ – aT\ /ut/.
*S Pada naskah Simalungun huruf w dan y sering digunakan untuk menulis kata yang berawal vokal. Dengan demikian, ulang sering ditulis wulang, dan on ditulis won. Kata yang berawal bunyi /i/ dan /e/ juga sering ditulis dengan y.
Diftong [ei] sering terdapat dalam bahasa Simalungun, misalnya dalam kata atei atau tarsulei. Kedua kata ini biasa ditulis atE ate dan tr-SlE tarsule. Kadang-kadang huruf /ya/ dipakai untuk menambah vokal /i/: atEyi atei, tr-SlEyi, tarsulei.
Nasalisasi dan aksara /mba/ dan /nda/ (K)
Salah satu ciri khas surat Batak versi Karo adalah bahwa bunyi sengau [m], [n], dan [ng] yang terdapat sebelum konsonan /b/, /c/, /d/, /g/, /j/, /k/, dan /p/ tidak ditulis. Dengan demikian, kata panta selalu ditulis pt. Demikian juga dengan kata tonggal yang selalu ditulis togal, banci menjadi baci, nangkih menjadi nakih, sampur menjadi sapur dan sebagainya:
gambar
Demikian juga dengan kata nande yang sering ditulis nade, dan kata mambur yang sering ditulis mabur walaupun terdapat aksara /nda/ dan /mba/. Tingkat penggunaan kedua aksara tersebut tidak terlalu tinggi. Hanya sekitar 40% naskah Karo yang menggunakan aksara itu. Kemungkinan besar kedua aksara tersebut masih relatif baru, meskipun telah digunakan pada naskah Karo yang paling lama. Perlu dicatat bahwa umur naskah-naskah Karo yang berada di museum-museum di dalam dan di luar negeri jarang melebihi 120 tahun.
Kendala Morfemik
Seperti sudah disebut di atas, surat Batak sebenarnya bukan abjad karena tidak benar-benar fonetis. Hal itu juga tampak dari kenyataan bahwa hanya seorang yang mengetahui bahasanya dapat menulis surat Batak. Jika kita disuruh menulis kata marina dengan menggunakan huruf Latin, kita dapat melaksanakan hal itu dan bisa menulis kata yang diucapkan tadi tanpa kesalahan walaupun kita tidak mengerti katanya. Ialah karena abjad Latin pada hakikatnya fonetis. Lain halnya jika kita disuruh menulis kata yang sama dengan surat Batak. Jika kita tidak menguasai bahasa Batak Toba, tentu kita akan menulis mrin karena kita tidak tahu bahwa kata marina terdiri atas dua morfem yakni awalan {mar} dan kata dasar {ina}. Struktur morfemik inilah yang turut mempengaruhi cara menulis surat Batak, dan ada kecenderungan untuk menandai batas-batas morfemis dengan menulis mr\In Demikian juga dengan kata taringot tr\I<to\ atau parulian pr\Ulian\. Perlu dicatat, bahwa aturan ini tidak selalu diperhatikan oleh penulis naskah-naskah Batak. Cukup banyak naskah yang menulis kata maringan mri<n\ dan bukan mr\I<n\.
Konsonan ganda
*KP Dalam bahasa Karo dan Pakpak terdapat banyak kata yang mempunyai struktur KVKVK di mana vokal pertama merupakan pepet (e lemah). Dalam hal ini, konsonan yang mengikuti pepet itu dapat dieja ganda: misalnya kata belin ‘besar’ bila diucapkan pelan-pelan ejaan menjadi bel-lin. Dengan demikian, struktur kata sebenarnya bukan KVKVK, melainkan terdiri dari dua suku kata yang masing-masing berbunyi KVK. Penulisannya bisa belni- belin atau ble-lni- bellin. Contoh lain adalah: be-ne dan ben-ne, te-mbe dan tem-mbe dan sebagainya. Penggandaan konsonan seperti itu adalah gejala yang umum sekali dalam naskah Pakpak dan Karo.
Awalan -er
*K Pada naskah Karo awalan er- selalu menjadi re-, misalnya erkeriken ditulis rekeriken. Hanya pada beberapa naskah saja terdapat bentuk are-kerikne- (herkeriken).